![]() |
Foto: Kadisbudparekraf Sumut Yudha Pratiwi Setiawan |
Pengamat Anggaran Ir Elfanda Ananda,MSP mengatakan cukup mengherankan Even Trail of The Kings (TOTK) Lake Toba di Samosir sebagai acara internasional dengan anggaran Rp3,5 M dilakukan melalui penunjukan langsung oleh Disbudparekraf Sumut tanpa melalui tender kepada PT CAB,beralamat di Cilandak Barat, Jakarta Selatan.
Padahal, pengadaan jasa EO seharusnya dilakukan melalui mekanisme tender terbuka sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Penunjukan langsung hanya dapat dibenarkan untuk kondisi darurat, pengadaan jasa yang sangat spesifik, atau pekerjaan dengan nilai kecil (di bawah Rp200 juta).
Dalam kasus ini, tidak terdapat alasan hukum yang jelas mengapa mekanisme non-tender digunakan.Kasus pengadaan jasa Event Organizer (EO) untuk event internasional Trail of The Kings (TOTK) Lake Toba 2025 menunjukkan persoalan klasik dalam birokrasi dimana terdapat lemahnya transparansi dan integritas dalam pengelolaan anggaran publik.
Pendapat tersebut disampaikan Elfanda Ananda menanggapi penghunjukan langsung tanpa tender EO TOTK Lake Toba Tahun 2025 oleh Disbudparekraf Sumut,Sabtu(18/10).
Melalui penelusuran di laman Inaproc LPSE Provinsi Sumut, diketahui bahwa kegiatan yang menelan biaya Rp3,5 miliar dari APBD Sumut tersebut tidak melalui mekanisme tender terbuka, melainkan penunjukan langsung kepada satu perusahaan asal Jakarta Selatan, PT CAB hanya dalam waktu tiga hari proses. Proses penunjukan langsung yang diselesaikan dalam waktu hanya tiga hari dan diikuti oleh satu perusahaan saja mengindikasikan adanya pengaturan pemenang (directed procurement) atau penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berwenang menetapkan penyedia. Ini membuka ruang terjadinya dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Padahal, secara normatif, penunjukan langsung hanya diperbolehkan dalam kondisi khusus dan terbatas, seperti nilai pengadaan barang/jasa lainnya di bawah Rp200 juta, kebutuhan darurat atau mendesak atau spesifikasi teknis yang sangat unik dan hanya dapat dilakukan oleh satu penyedia.
Dalam kasus ini, tidak ditemukan alasan hukum yang dapat membenarkan penggunaan mekanisme non-tender untuk proyek bernilai Rp3,5 miliar. Artinya, proses ini berpotensi melanggar Pasal 38 dan 41 Perpres No. 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Ketiadaan tender dalam pengadaan EO TOTK Lake Toba bernilai Rp3,5 miliar merupakan indikasi pelanggaran tata kelola sistem pengadaan barang dan jasa yang berpotensi penyalahgunaan wewenang.
Kasus ini menjadi peringatan keras kepada Pemprov Sumut bahwa transparansi, integritas, dan pengawasan publik harus ditegakkan tanpa kompromi. Gubernur perlu bertindak tegas agar kasus seperti ini tidak menjadi “Topan Gate” jilid dua yang kembali mencoreng wajah birokrasi Sumatera Utara.
Atas kasus ini sudah seharusnya sebagai pimpinan daerah, Gubernur Sumut wajib mengambil langkah korektif dan investigatif untuk memastikan aparatur bawahannya bekerja sesuai aturan perundang undangan dan tidak mengulangi pola penyimpangan seperti kasus sebelumnya yang dikenal publik sebagai “Topan Gate”.
Gubernur harus memerintahkan Inspektorat Provinsi melakukan pemeriksaan internal, dan bila ditemukan indikasi penyimpangan, Kejaksaan Tinggi Sumut (Kejatisu) atau KPK harus dilibatkan untuk pendalaman hukum.Rumapea/
Kasus penunjukan langsung Rp3,5 miliar untuk EO TOTK Lake Toba Adalah cermin dari krisis integritas birokrasi.
Ketika uang rakyat (pajak) dikelola tanpa keterbukaan, kepercayaan publik pun hilang. Maka, langkah audit, pemeriksaan, dan pembenahan sistem bukanlah pilihan melainkan kewajiban moral dan hukum bagi Pemprov Sumut. Harus ada perbaikan system tata kelola pengadaan barang yang transparan, adil dan akuntabel.
Upaya wartawan untuk mengonfirmasi hal ini kepada Kadis Kebudayaan, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sumut, Yudha Pratiwi Setiawan dan, berakhir tanpa jawaban. Tidak ada klarifikasi, tidak ada penjelasan menunjukkan bahwa diamnya pejabat publik dalam situasi seperti ini justru memperburuk persepsi publik ada sesuatu yang ingin ditutupi.
Padahal, dalam prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), transparansi dan komunikasi publik adalah bentuk tanggung jawab moral sekaligus hukum bagi pejabat pengelola anggaran. Ketertutupan informasi dalam penggunaan dana publik hanya memperlebar jurang ketidakpercayaan antara pemerintah dan masyarakat. Harus ada evaluasi untuk kepal dinas untuk perbaikan ke depannya.Rumapea/Redaksi